Mengenai Saya

Kamis, 17 November 2011

Skripsi S1

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM LENGKAP
DENGAN SUMBER HIJAUAN DAUN PUCUK TEBU (Saccharum officinarum) TERHADAP JUMLAH ZAT MAKANAN DAPAT DICERNA
PADA DOMBA PERSILANGAN PRIANGAN vs BARBADOS

Ryan Aryadin Putra
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Mataram
Mataram 2011

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat protein didalam ransum lengkap yang menggunakan sumber hijauan pakan berupa daun pucuk tebu (Saccharum officinarum) terhadap jumlah zat makanan dapat dicerna (Total Digestible Nutrients) pada domba persilangan Priangan vs Barbados. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen terhadap empat ekor domba betina lepas sapih umur empat bulan dengan bobot badan 17 kg. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 x 4, perlakuan yang diuji adalah  empat tingkat (15 %, 14 %, 13 %, dan 12 %) protein ransum lengkap. Setiap periode pengumpulan data pengamatan respon dilakukan selama 10 hari, selang waktu pergantian antar perlakuan adalah 7 hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat protein ransum antara 12 – 15 persen memberikan pengaruh terhadap jumlah zat makanan dapat dicerna (Total Digestible Nutrients) pada domba persilangan Priangan vs Barbados.

Kata Kunci : protein, ransum lengkap, pucuk tebu, jumlah zat makanan dapat   
                      dicerna,  domba.


EFFECT OF PROTEIN LEVEL IN COMPLETE RATION
WITH FORAGE SOURCES FROM SUGAR CANE TOP
(Saccharum officinarum) ON TOTAL DIGESTIBLE NUTRIENTS
AT PRIANGAN vs BARBADOS CROSS BREED SHEEP

ABSTRACT

The objectives of this research was to study the effect of level protein in complete ration with forage sourses from sugar cane top (Saccharum officinarum) on the value of Total Digestible Nutrients at Priangan vs Barbados cross breed sheep.This research used four post weaning sheep, the age of sheeps about four month with liveweight are about 17 kg. Experiments design used Latin Square 4 x 4, the treatments were to feed on some level protein i.e ; 15, 14, 13 and 12 percent in complete ration. Collecting data are made a periods of 10 days, with 7 days for adaptation periods. The results indicated that  level protein 12 – 15 percent in complete ration was significantly on  the value of Total Digestible Nutrients.

Keys words : protein, complete ration, sugar cane top, total digestible nutrients, sheep

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Perkembangan populasi dan produktifitas ternak domba hingga saat ini masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan sebagai salah satu jenis ternak penyumbang kecukupan daging secara nasional. Perkembangan populasi dan produktifitasnya seringkali terkendala oleh rendahnya keragaan  produksi akibat kualitas genetik yang kurang baik dan sistem pengadaan ransum yang kurang memadai karena berbagai keterbatasan, terutama kondisi klimatologis yang kurang mendukung. Ditinjau dari aspek kesinambungan penyediaan maupun kualitasnya dinilai masih sangat rendah. Padahal kondisi ransum akan berpengaruh langsung terhadap performa produksi domba.
            Kondisi genetis domba dan sistem pengadaan ransum merupakan dua hal yang berhubungan dan saling mempengaruhi diantara keduanya, sehingga untuk meningkatkan  produksi ternak domba di Indonesia maka kedua aspek tersebut perlu ditangani secara sistematis.
            Persilangan pada ternak domba bertujuan untuk menggabungkan dua bangsa ternak kedalam satu bangsa silangan, secara teknis persilangan dilakukan untuk menggabungkan beberapa sifat yang semula terdapat pada dua bangsa yang berbeda kedalam satu bangsa silangan sedemikian rupa sehingga akan mengoptimalkan produktifitas keturunannya.
            Persilangan  antara induk domba Priangan dengan pejantan domba Barbados bertujuan antara lain untuk menghasilkan keturunan yang memiliki tingkat produksi daging yang diperoleh dari sifat domba Barbados karena bangsa domba ini termasuk domba tipe pedaging yang cukup baik, dan daya adaptasi terhadap lingkungan yang diharapkan diturunkan dari domba Priangan sebagai salah satu domba hasil domestikasi di Indonesia, khususnya Jawa Barat.
            Efektifitas sistem pengadaan ransum ternak ruminan seperti domba, antara lain dipengaruhi   oleh    fluktuasi    ketersediaan   hijauan   pakan   akibat   perubahan musim. Kekurangan pasokan hijauan pakan pada musim kemarau selalu terjadi dan mengakibatkan penurunan berat badan yang cukup berarti. Pada wilayah dengan sistem pertanian intensif seperti Pulau Jawa dengan pola pertanian yang yang diutamakan pada tanaman pangan menyebabkan terbatasnya lahan yang dapat digunakan sebagai sumber penghasil hijauan pakan ternak. Pada wilayah seperti ini, pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan sebagai sumber hijauan pakan seringkali dijumpai. Namun, kualitas hijauan pakan asal limbah pertanian tanaman pangan ini pada umumnya rendah karena kandungan lignoselulosa yang tinggi sebagai akibat umur tanaman yang sudah tua.
            Kekurangan pasokan zat makanan dalam ransum akan berpengaruh negatif terhadap penampilan produksi ternak, sehingga pola pemanfaatan hijauan pakan ternak harus dilakukan secara strategis dengan melibatkan teknologi pengolahan, penyimpanan, distribusi dan penyusunan ransum yang efisien sesuai dengan potensi genetic ternak yang diusahakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
            Pemanfaatan zat makanan yang terkandung dalam ransum lengkap (complete ration) untuk ternak ruminan yang umumnya tersusun dari hijauan pakan dan bahan pakan lain berupa bahan pakan sumber energi,  protein, vitamin dan mineral, tergantung pada sifat degradabilitas dan kecernaannya. Ketersediaan substrat hasil degradasi zat makanan didalam rumen akan menentukan tingkat kemampuan sintesis masa mikroba rumen maupun ketersediaan produk fermentasi mikrobial yang pada gilirannya akan dimanfaatkan didalam metabolisme zat makanan didalam tubuh ternak.Menurut Winugroho, dkk (1998) penyusunan ransum lengkap menggunakan hijauan yang ada sebagai bahan utama, kemudian dilengkapi dengan suplementasi nutrien yang kurang dan penambahan bahan pakan aditif seperti probiotik maupun pemacu sintesis enzim akan dapat menjamin kecukupan nutrisi ternak.
            Panen tebu yang biasa dilakukan pada musim kering dan menghasilkan produk ikutan berupa daun pucuk tebu dapat memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan hijauan pakan untuk ternak ruminan disaat musim kemarau dimana produksi hijauan sangat menurun drastis. Nilai manfaat daun pucuk tebu dilihat dari kandungan nutrisinya, relative cukup baik karena hampir sama dengan kandungan nutrisi yang terdapat pada beberapa jenis rumput yang biasa dibeerikan pada ternak ruminan, seprti domba. Menurut  Musoffie, dkk  (l983)  daun  pucuk   tebu   adalah  bagian  batang  tebu berikut lima sampai tujuh helai daun yang dipotong dari tebu giling atau tebu bibit. Pemotongan daun pucuk tebu dilakukan pada tempat kurang lebih 40 cm dibawah sendi segitiga daun paling atas yang nampak. Potensi ketersediaan daun pucuk tebu sebagai hijauan pakan ternak ruminan semakin meningkat dengan bertambah luasnya areal penanaman tebu untuk meningkatkan produksi gula.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penyerapan zat makanan didalam ransum lengkap yang menggunakan sumber hijauan non konvensional berupa daun pucuk tebu (Saccharum officinarum), sebagai upaya untuk menjawab kelangkaan sumber hijauan konvensional berupa hijauan segar. Daun pucuk tebu memiliki potensi produksi massa yang cukup tinggi dengan jaminan pasokan yang lebih baik karena ketersediaannya terkait dengan sistem agroindustri yang relatif sudah mapan.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, dirasakan perlu dilakukan penelitian untuk melihat respon domba hasil persilangan  (Priangan vs Barbados)  terhadap  ransum  yang
diberikan dalam bentuk ransum lengkap (complete ration) yang mengandung berbagai tingkat protein dengan menggunakan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum) sebagai pemasok serat pengganti hijauan pakan segar.

BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
a. Bahan Pakan
          Bahan pakan yang akan digunakan untuk menyusun ransum lengkap terdiri dari daun pucuk tebu sebagai satu-satunya sumber hijauan, wheat pollard, ampas kecap, bungkil kelapa, bungkil biji kapuk dan premiks. Semua bahan pakan dapat diperoleh di Unit Makanan Ternak KUD Tamam sari Kecamatan gunung sari Kabupaten Lombok Barat, dengan komposisi zat makanan seperti berikut :
            Tabel 1. Komposisi Zat Makanan Bahan Pakan Penyusun Ransum Percobaan


Bahan Pakan                BK       Protein    TDN     Serat  Kasar   BETN       Ca       P


Daun Pucuk Tebu       93,00       5,20       46,00         34,40         50,20     0,47     0,34
Wheat Pollard             86,00     15,00       71,00           7,70         16,40     0,13     1,38
Ampas Kecap*            76,55      26,24      87,20          13,94         34,52     0,88     0,14
Bungkil Kelapa           86,00     21,60      85,00          12,10         49,70     0,21     0,65
Bungkil Biji Kapuk     86,00     31,70      69,00          24,00         26,70     0,47     0,65
Premix                         99,00         -             -                  -                -       50,00   25,00
Sumber : Hartadi, dkk. 1990., * Sutardi, T. 1983.
                Premix mengandung : kalsium karbonat 50%, pospor 25%, mangan 0,35%,
                iodium  0,20%, kalium 0,10%, cuprum 0,15%, sodium 22%, ferrum 0,80%,  
                zink 0,20%, magnesium 0,15% dan khlor 1,05%.
b. Ransum Percobaan
            Ransum percobaan yang akan diteliti disajikan dalam bentuk ransum lengkap dengan komposisi bahan pakan pada masing-masing perlakuan seperti disajikan pada Tabel 2.
            Tabel 2. Komposisi Bahan Pakan Dalam Ransum Percobaan (%)


Bahan Pakan                                                          Ransum Percobaan
                                                     
                                                   TC 01               TC 02               TC 03           TC 04

Daun Pucuk Tebu                       15,00                 20,00               25,00            30,00         
Wheat Pollard                             35,00                 40,00               45,00            50,00
Ampas Kecap                              25,00                 20,00               15,00              5,00
Bungkil Kelapa                           20,00                 15,00               10,00              5,00
Bungkil Biji Kapuk                       4,50                   4,50                 4,50              4,50
Premix                                           0,50                   0,50                 0,50              0,50

Jumlah                                       100,00               100,00             100,00           100,00
Sumber : Hasil Perhitungan. 2004.
Penyusunan ransum percobaan disesuaikan dengan rekomendasi Church (1984), bahwa kebutuhan zat makanan domba lepas sapih umur empat bulan dengan berat badan 17 kg adalah 0,8 kg bahan kering, 128 g protein, 0,58 kg TDN, 3 g kalsium dan 2 g pospor. Adapun kandungan zat makanan pada ransum percobaan tersebut dicantumkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Dalam Ransum Percobaan (%)

Bahan Pakan                                                           Ransum Percobaan
 

                                                      TC 01                  TC 02              TC 03          TC 04

Bahan Kering                                 84,25                   85,80               85,90           86,72
Protein Kasar                                 15,12                   14,11               13,08           12,04
TDN                                               60,38                   58,84               58,15           56,35
Serat Kasar                                     12,90                   13,75               13,35           15,40
BETN                                             25,38                   25,51               27,27           26,85
Kalsium                                            0,52                     0,43                 0,71             0,49
Pospor                                              0,70                     0,74                 0,78             0,83
c. Ternak Percobaan
            Jumlah ternak domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor, merupakan domba hasil kawin silang antara antara induk betina Priangan dengan pejantan Barbados. Domba berumur empat bulan (lepas sapih) dengan berat badan sekitar 17 kg.
d. Kandang Metabolik dan Peralatan
            Kandang ternak untuk penelitian ini adalah kandang metabolik dengan ukuran masing-masing 80 x  120 cm. Tiap kandang memiliki fasilitas berupa instalasi pemisah feses dan urine, alat penampung feses dan urine, bak makanan dan tempat minum untuk ternak.
Metoda Penelitian
a. Peubah Yang Diukur
Peubah yang diukur meliputi jumlah protein dapat dicerna yang merupakan selisih antara jumlah konsumsi protein dengan jumlah protein yang ada didalam feses, jumlah lemak dapat dicerna diperoleh dengan cara mengurangi jumlah konsumsi lemak dengan jumlah lemak yang terdapat dalam feses yang diekskresikan dan jumlah zat makanan dapat dicerna yang dihitung berdasarkan jumlah total zat makanan yang dapat dicerna dibagi dengan jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi dengan perhitungan seperti dikemukakan oleh Cullison (1978) :
                                                                       Jumlah Zat Makanan Dapat Dicerna
Jumlah Zat Makanan Dapat Dicerna  (%) =                                                              x  100
                                                                          Jumlah Konsumsi Bahan Kering

b. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik
            Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen menggunakan rancangan Bujur Sangkar Latin (Latin Square Design) dengan empat macam perlakuan ransum berupa ransum lengkap yang mengandung empat macam tingkat protein, yaitu 15 %, 14 %, 13 % dan 12 %. Setiap periode pengumpulan data pengamatan respon dilakukan selama sepuluh hari. Selang waktu pergantian antar perlakuan adalah satu minggu untuk menghilangkan pengaruh perlakuan ransum sebelumnya. Pergantian perlakuan terus dilakukan dengan cara seperti sebelumnya sampai semua domba percobaan mendapat giliran seluruh perlakuan ransum yang diteliti. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon percobaan, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji Sidik Ragam. Perbedaan antar perlakuan dapat diketahui melalui cara pengujian dengan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan (Stell dan Torrie, 1988., Vincent Gasversz, 1991).


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
            Data pengamatan respon percobaan pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum) yang mengandung berbagai tingkat protein ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Protein, Lemak dan Jumlah Total Zat Makanan Dapat Dicerna
              Pada Tiap Ransum Lengkap Dengan Sumber Hijauan Daun Pucuk Tebu

 Respon Percobaan
Kandungan Protein Ransum

15 %
14 %
13 %
12 %





1. Jumlah Protein Dapat Dicerna (g/e/hari)
76,88
78,53
64,93
63,85

a
a
b
b
2. Jumlah Lemak Dapat Dicerna (g/e/hari)
171,34
180,60
195,89
205,67

a
a
b
b
3. Jumlah Total Zat Makanan Dapat Dicerna (%)
49,16
44,11
42,21
44,81

a
b
b
b
Keterangan : huruf yang sama kearah baris menunjukkan berbeda tidak nyata                    

Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Protein Dapat Dicerna.
Jumlah protein dapat dicerna yang paling banyak ditunjukkan oleh perlakuan pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum) yang mengandung protein sebesar 14%, yaitu sebanyak 78,53 g. Sedangkan jumlah protein dapat dicerna paling rendah dicapai oleh perlakuan pemberian ransum lengkap dengan kandungan protein sebesar 12 %, penurunan jumlah protein dapat dicerna dari ransum lengkap yang mengandung protein 15 % dengan ransum lengkap yang mengandung protein sebesar 12 % adalah sekitar 16,94 %.

 
Berdasarkan hasil uji statistik dapat diketahui bahwa tingkat protein sampai 15  % didalam ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap jumlah protein dapat dicerna. Sedangkan perbedaan diantara perlakuan menunjukkan bahwa antara perlakuan pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu yang mengandung protein 15 % dan 14 % menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Demikian juga diantara perlakuan pemberian ransum lengkap yang mengandung protein antara 13 % dan 12 %. Perbedaan yang nyata mulai terlihat antara perlakuan pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu yang mengandung protein sebesar 13 %. Seperti dikemukakan oleh Edey (1983) bahwa ransum domba sedikitnya harus mengandung 9 persen protein kasar dan untuk mendapatkan pertambahan bobot badan yang baik, ransum tersebut harus mengandung protein kasar antara 10 – 11 persen, sedangkan untuk mendapatkan pertambahan berat badan yang lebih cepat lagi, ransumnya harus mengandung protein kasar minimum 11,8 persen  Level protein dalam ransum tidak saja berpengaruh pada kecernaan semu protein, tetapi juga memberikan zat makanan esensil bagi pertumbuhan mikroba dan aktifitasnya dalam rumen. Lebih lanjut dikemukakan oleh (Schneider dan Flatt, 1975) bahwa penambahan protein kedalam ransum juga dapat meningkatkan kecernaan serat kasar ransum.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Lemak Dapat Dicerna.
Jumlah lemak dapat dicerna yang paling tinggi dicapai oleh perlakuan pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu yang mengandung protein sebesar 12 %. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin rendah kandungan protein ransum lengkap maka jumlah lemak dapat dicerna semakin meningkat dan peningkatannya menunjukkan perbedaan yang nyata.
            Perlakuan pemberian ransum lengkap dengan kandungan protein sebesar 12 % memberikan perbedaan yang tidak nyata terhadap jumlah lemak dapat dicerna dibandingkan dengan ransum lengkap yang mengandung protein 13 %, perbedaan yang nyata terlihat bila dibandingkan dengan perlakuan pemberian ransum lengkap yang mengandung protein sebesar 14 % dan 15 %. Sedangkan pemberian ransum lengkap yang mengandung protein antara 14 % dengan protein 15 % menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap jumlah lemak dapat dicerna.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Zat Makanan Dapat Dicerna.
Perlakuan ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu yang mengandung protein sebesar 15 % menunjukkan jumlah zat makanan dapat  dicerna paling tinggi dibandingkan ransum lengkap dengan angka protein 14 %, 13 % dan 12 %. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan persentase penggunaan daun pucuk tebu pada tiap ransum lengkap tersebut, sehingga kandungan serat kasar pada ransum lengkap yang mengandung protein 14 %, 13 % dan 12 % meningkat. Peningkatan kandungan serat kasar paling tinggi terjadi pada ransum lengkap dengan kandungan protein 12 %, persentase peningkatan serat kasarnya mencapai 19,37 % dibandingkan dengan ransum yang mengandung protein 15 %.
Hasil uji statitik menunjukkan bahwa ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu yang mengandung protein yang semakin rendah sampai 12 % menghasilkan penurunan jumlah zat makanan dapat dicerna yang berbeda nyata, dengan persentase penurunan sebesar 8,85 %. 
Penggunaan daun pucuk tebu sebagai sumber serat dalam ransum ternak ruminan masih dapat dilakukan sampai batas tertentu, pembatasan ini perlu dilakukan karena kualitas hijauan pakan asal limbah pertanian tanaman pangan ini pada umumnya rendah karena kandungan lignoselulosa yang tinggi akibat umur tanaman yang sudah tua. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu angka kecernaan zat makanan lainnya didalam ransum yang dikonsumsi ternak ruminan, sehingga jumlah zat makanan dapat dicerna menjadi rendah. Menurut Ensminger (1991), pakan yang berkualitas tinggi lebih mudah dicerna dan mudah melewati saluran pencernaan daripada pakan yang berkualitas rendah.
Perlakuan ransum lengkap dengan  tingkat protein sebesar 15 % menunjukkan perbedaan nyata dengan ransum lainnya yang mengandung protein sebesar 14 %, 13 % dan 12 %. Namun, diantara perlakuan ransum lengkap yang mengandung protein sebesar 14 %, 13 % dan 12 % menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Artinya dapat diketahui bahwa ransum lengkap yang menggunakan daun pucuk tebu sebagai sumber hijauan akan menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perbedaan tingkat protein antara 12 % sampai 15 %.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.
Pemberian ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum) yang mengandung protein sebesar 15 persen pada domba hasil persilangan antara induk betina Priangan dengan pejantan Barbados dapat menghasilkan nilai total zat makanan dapat dicerna sebesar 49,16 persen. Penurunan kandungan protein didalam ransum lengkap dari 14 persen sampai 12 persen menghasilkan angka total zat makanan dapat dicerna yang sama.
Saran.
            Persentase protein yang dapat digunakan didalam ransum lengkap dengan sumber hijauan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum)  untuk menghasilkan jumlah zat makanan dapat dicerna yang paling tinggi pada domba persilangan (Priangan vs Barbados) adalah sebesar 15 %.

Ucapan Terima Kasih
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian yang bertindak sebagai manajemen penyelenggara bagi kegiatan penelitian di lingkungan Universitas Mataram sehingga penulis mendapat kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini.



BAB VI
Daftar Pustaka
Church, D.A. 1984. Livestock Feeds and Feeding. Second Edition. Published and Distributed by O & B Books Inc. Oregon.

Crampton, E.W., and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. W.H. Freeman and Company, San Fransisco. p 88.

Cullison, E.A. 1978. Feeds and Feeding Animal Nutrition. Prentice Hall of India Private Limited. New Delhi. pp. 41 – 46

Edey, T.N. 1978. Tropical Sheep and Goat Production. Published by The Australian Universities International Development Program (AUIDP), Canberra. pp. 23 – 40 : 88 – 104.

Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. Sixth Edition. The Interstate Printers and Publishers. Illinois. p. 714.

Hartadi, H., R. Reksohadiprodjo., D.A. Tillman, 1990. Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. International Feedstuff. Utah Agric Exp Station. Utah State University, Logan. Utah.84332. USA. p. 55.

Musofie, A., N.K. Wardhani., S. Tedjowahjono. 1981. Penggunaan Pucuk Tebu Pada Sapi Bali Jantan Muda. Proseding Seminar Penelitian Peternakan, Bogor.

Syahrir. 2000. Pemanfaatan Daun Pucuk Tebu Ammoniasi Terhadap Kecernaan Zat Makanan Pada Domba Priangan. Thesis. Pascasarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung.

Schneider, B.H. 1975. The Evaluation Of Feed Throught Digestibility Experiment. The University of Georgia Press. USA. pp 4, 147, 168-169, 252, 261

Steel, R.G.D., and J.H. Torrie, 1980. Prinsip dan Prosedur Analitis Suatu Pendekatan Biometrika. Edisi Kedua. Penerbit PT. Gramedia.

Sutardi. T. 1983. Pengelolaan Tatalaksana Makanan dan Kesehatan Sapi Perah. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Vincent Gasversz. 1991. Analisa Dalam Penelitian Percobaan. Edisi Pertama. Penerbit Tarsito, Bandung.

Wardhani, N.K., S. Tedjowahjono., A. Musofie. 1984. Peranan Pucuk Tebu Sebagai Sumber Pakan Sapi Produksi. Proseding Pertemuan Teknis BP3G. Pasuruan.

Winugroho, M., B. Haryanto., K. Maksum. 1998. Konsep Pelestarian Pasokan Hijauan Pakan Dalam Usaha Optimalisasi Produktifitas Ternak Ruminansia. Seminar  Pemanfaatan Pakan Lokal. BPTP Lembang. Bandung.





Pemanfaatan Energi

PEMANFAATAN ENERGI BIOGAS UNTUK MENDUKUNG AGRIBISNIS DI PEDESAAN

RYAN ARYADIN PUTRA
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM


PENDAHULUAN

Sumber daya energi mempunyai  peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga. Dalam jangka panjang, peran energi akan lebih berkembang khususnya guna mendukung pertumbuhan sektor industri dan kegiatan lain yang terkait. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak dan gas, namun berkurangnya cadangan minyak, penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan kualitas lingkungan menurun akibat penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Olah karena itu, pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan menjadi pilihan.
Salah satu dari energi terbarukan adalah biogas, biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya. Energi biogas dapat diperoleh dari air limbah rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi; sampah organik dari pasar; industri makanan dan sebagainya. Kapasitas terpasang pemanfaatan biogas adalah kurang dari satu persen dari potensi biogas yang ada (685 MW).  Dari ternak ruminansia besar saja (sapi perah, sapi potong dan kerbau) dengan populasi 13 680 000 ekor (pada tahun 2004) dan struktur populasi (anak, muda, dewasa) kotoran segar rata-rata 12 kg/ekor/hari, dapat menghasilkan kotoran segar 164 160 000 ton per hari atau setara dengan 8,2 juta liter minyak tanah/ hari [12]. Sejalan dengan pengembangan daerah-daerah sentra peternakan di pedesaan, bahan input produksi biogas menjadi tersentralisir dan ketersediannya terjamin secara kontinyu.
Selain potensi yang besar, pemanfaatan energi biogas dengan digester biogas memiliki banyak keuntungan, yaitu mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap, mencegah penyebaran penyakit, menghasilkan panas dan daya (mekanis/listrik) serta hasil samping berupa pupuk padat dan cair. Pemanfaatan limbah dengan cara seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga bahan bakar minyak dan pupuk anorganik. Disamping itu, prinsip zero waste merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan [2;8]. Makalah ini memberikan gambaran pemanfaatan teknologi biogas dalam mendukung agribisnis di pedesaan.
Pengembangan Teknologi Biogas
Dalam kegiatan DIPA 2005 BBP Mekanisasi Pertanian, telah dilaksanakan kegiatan rekayasa dan pengembangan unit instalasi pemroses biomasa (kotoran sapi) menjadi energi biogas yang berlokasi di Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor. Instalasi pemroses biomasa (digester) adalah tipe fixed dome yang dirancang untuk 10 ekor sapi (dengan kotoran sapi 20 kg/hari/ekor dengan retention time 45 hari) maka kapasitas digester adalah 18 m³. Skema pemanfaatan energi biogas dari kotoran sapi adalah seperti pada Gambar 1.
Produksi gas metana tergantung pada kondisi input (kotoran ternak), residence time, pH, suhu dan toxicity. Suhu digester berkisar 25-27°C menghasilkan biogas dengan kandungan gas metana (CH4) sekitar 77%.  Berdasarkan perhitungan produksi biogas yaitu 6 m³/hari (untuk rata-rata produksi biogas 30 liter gas/kg kotoran sapi), sedangkan hasil pengukuran tanpa beban menunjukkan laju aliran gas 1,5 m³/jam dengan tekanan 490 mmH2O (lebih besar daripada perkiraan). Penggunaan lampu penerangan diperlukan biogas 0.23 m³/jam dengan tekanan 45 mmH2O dan untuk kompor gas diperlukan biogas 0.30 m³/jam dengan tekanan 75 mmH2O (Tabel 1)[13].

Tabel 1.  Unjuk Kerja Instalasi Biogas
Pemanfaatan Biogas
Referensi
Hasil pengukuran
-          Lampu penerangan (m3/ jam)



-          Kompor gas (m3/ jam)

0,11 – 0,15
(penerangan setara dengan 60 watt lampu bohlam @100 candle power @ 620 lumen).  Tekanan: 70 - 85 mmH2O

0,2 – 0,45
0,3 m3/ orang/ hari
Tekanan: 75 - 90 mmH2O
0,15 – 0,3
Tekanan = 30 – 60 mmH2O



0,2 – 0,4
Tekanan = 60 – 85 mmH2O
Sumber: [1;2;3;6;8]

Analisa dampak lingkungan dari lumpur keluaran dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD=0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%).  Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri pathogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar [13].

Pendapatan yang diperoleh dari instalasi biogas adalah sekitar Rp 600 000,-/ bulan bila dikonversikan dengan harga dan nilai kalori LPG (Liquefied Petroleum Gas). Dengan menggunakan parameter dan analisa kelayakan ekonomi seperti pada Tabel 2 diperoleh B/C Rasio 1,35 yang berarti secara ekonomi investasi tersebut layak. Demikian pula dari hasil analisa simple payback diketahui bahwa modal investasi pembangunan konstruksi digester akan kembali pada tahun ke-4 (umur ekonomi digester: 20 tahun). Hasil pendapatan ini belum termasuk hasil samping berupa pupuk cair/padat [13].
Gambar 1.   Pemanfaatan energi biogas dari kotoran sapi

Pada kegiatan DIPA 2006 (sedang berjalan), pemanfaatan biogas yang dihasilkan direncanakan untuk beberapa kegunaan seperti untuk kemasan tabung dan sumber energi motor penggerak (daya listrik/ mekanis).

Tabel 2.  Parameter dan Hasil Analisa Kelayakan Ekonomi
1.        Parameter
-          Biaya investasi,  Rp
-          Biaya operasional dan perawatan, Rp/tahun
-          Pendapatan, Rp/tahun
-          Keuntungan, Rp/tahun
-          Umur ekonomi, tahun
-          Produksi gas, m3/hari
-          Produksi gas, m3/tahun
-          Suku Bunga , %/tahun

2.        Hasil Analisa Kelayakan Ekonomi
-          Net Present Worth (NPW), Rp
-          Net Present Cost (NPC), Rp
-          Net Present Revenue (NPR), Rp
-          B/C Ratio
-          Simple Payback, tahun
-          Internal Rate Return (IRR), %

18 448 000
2 767 200
7 051 800
4 284 600
20
6
2190
12


13 555 578
39 117 444
52 673 023
1,35
4,3
23,70

Sistem Integrasi Ternak dan Tanaman
Usaha peternakan sapi telah banyak berkembang di Indonesia, namun petani pada umumnya masih memelihara ternak sebagai usaha sambilan atau tabungan, sehingga manajemen pemeliharaannya masih dilakukan secara konvensional.  Permasalahan utama yang dihadapi petani yaitu belum adanya keterpaduan usaha ternak dengan tanaman.  Sehingga jumlah pakan secara memadai terutama pada musim kemarau tidak tersedia. Konsekuensinya banyak petani yang terpaksa menjual ternaknya walaupun dengan harga relatif murah [7].
Upaya mengatasi permasalahan tersebut, petani di beberapa lokasi di Indonesia sejak dulu telah mengembangkan sistem integrasi tanaman ternak (Crops Livestock System, CLS). CLS pada umumnya telah berkembang di daerah dimana terdapat perbedaan nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) dengan bulan kering lebih dari 3 bulan berturut-turut [5].
Pengembangan kawasan sistem peternakan pertanian terintegrasi merupakan suatu model yang integratif dan sinergis atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkaan kotoran ternak sebagai bahan biogas, sisa hasil proses biogas yang berupa padatan dan cairan bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Kadar unsur hara dalam pupuk kandang yang berasal dari beberapa jenis ternak adalah seperti pada Tabel 3. Apabila diketahui produksi pupuk kandang per ekor ternak sapi/kerbau sekitar 26 kg/ hari/ekor dan kambing/domba sekitar 1,5 kg/hari/ekor, maka jumlah zat hara yang dihasilkan per tahun dapat diperhitungkan.

Tabel 3.  Kadar N, P dan K dalam Pupuk Kandang dari Beberapa Jenis Ternak
Jenis Pupuk Kandang
Kandungan (%)
N
P2O5
K2O
Kotoran Sapi
Kotoran Kuda
Kotoran Kambing
Kotoran Ayam
Kotoran Itik
0.6
0.4
0.5
1.6
1.0
0.3
0.3
0.3
0.5
1.4
0.1
0.3
0.2
0.2
0.6
Sumber:  [9].

Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacang, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3 persen dari total rumput yang dibutuhkan [7].  Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatan ketahanan pakan khususnya pada musim kering, juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak atau bekerja di sektor non pertanian. Beberapa potensi pakan ternak dari limbah pertanian seperti pada Tabel 4.

Tabel 4.  Potensi Limbah Pertanian Untuk Pakan Ternak
Komoditas
Potensi
1.        Jagung
-          Bobot daun dibawah tongkol
-          Bobot brangkasan diatas tongkol
-          Tongkol (ratio to product ratio/RPR=0,273)
2.        Padi
3.        Kelapa Sawit  (bahan kering dari daun tanpa lidi, pelepah, solid, bungkil, serat perasan dan tandan kosong)

2,2 –  2,6  ton/ha
1,3 –  2,0 ton/ha
1,6 ton/ha
3,78 – 5,1 ton/ha
10,011 ton/ha/tahun
Catatan: konsumsi pakan setiap 1 unit ternak (UT) adalah 35% bobot hidup.
Sumber: [4;11]


Sistem integrasi ternak-tanaman (crop livestock system/CLS) yang diusahakan secara intensif merupakan salah satu contoh populer Sistim Usahatani Intensifikasi Diversivikasi (SUID) [10].  Strategi diversifikasi usaha dalam spektrum luas dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya maupun untuk mengurangi resiko usaha. Hal ini sangat penting mengingat usaha dibidang pertanian memerlukan jangka waktu tertentu untuk memperoleh hasil dan tingkat resiko yang tinggi. Oleh karena itu, dalam tataran usahatani keluarga skala kecil, maka usahatani yang akan dikembangkan adalah pola usaha SUID-keluarga, seperti pada Gambar 2.

Gambar  2. Kerangka Dasar Usaha SUID-Keluarga

Pemanfaatan Energi Biogas untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan
Dengan integrasi ternak-tanaman, pakan ternak cukup tersedia sehingga waktu yang dicurahkan untuk kegiatan penyediaan pakan ternak menjadi berkurang. Kelebihan waktu tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambah jumlah ternak maupun bekerja di sektor non pertanian agar pendapatan keluarga bertambah. Dengan pola usaha SUID-keluarga, pemanfaatan energi biogas dari kotoran ternak dapat mendukung agribisnis di  pedesaan. Sebagai contoh pada Gambar 3, integrasi ternak sapi dan tanaman jagung dapat menciptakan berbagai aktivitas baru yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk.

Gambar 3. Contoh pemanfaatan energi biogas untuk mendukung agribisnis berbasis jagung.
Prospektif Pemanfaatan Energi Biogas
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan. Beberapa alasannya adalah: pertama, produksi biogas dari kotoran peternakan sapi ditunjang oleh kondisi yang kondusif perkembangan peternakan sapi di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi di bidang energi seperti kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ketiga, kenaikan harga dan kelangkaan pupuk anorganik di pasaran karena distribusi pemasaran yang kurang baik menyebabkan petani berpaling pada penggunaan pupuk organik.
Pemanfaatan untuk kompor, penerangan, pemanas air dan penggunaan lainnya yang mendukung kegiatan industri kecil di pedesaan. Sedangkan lumpur keluaran dari digester dapat dimanfaatkan untuk pupuk atau dialirkan ke kolam ikan. Pengembangan lebih lanjut dari kegiatan riset ini adalah meliputi pengemasan biogas dalam tabung dan sebagai sumber energi pada motor bakar untuk mengasilkan sumber daya mekanis maupun listrik.

Perkiraan Dampak
Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik dari pasar; industri makanan dan sebagainya. Disamping itu, usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air, dsb. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy.


PENUTUP

Energi biogas dapat dimanfaatkan secara optimal dengan cara teringrasi dan penggunaan pada kegiatan-kegiatan yang produktif. Sehingga pemanfaatan energi biogas dapat memberikan dampak yang lebih luas dan dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi serta nilai tambah pada produk. Dengan demikian, melalui kegiatan agribisnis ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan menggairahkan perekonomian di pedesaan.



DAFTAR PUSTAKA

Anon1. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources Development Series No. 21. United Nations: Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand.
Anon2. 1984. Updated Guidebook on Biogas Development - Energy Resources Development Series 1984, No. 27, United Nations, New York, USA.
Anon4. 2003. Perkebunan Kelapa Sawit dapat Menjadi Basis Pengembangan Sapi potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Vol. 25 No5.
Fagi, A.M., I.G. Ismail dan Kartaatmaja, S. 2004. Evaluasi Pendahuluan Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 
Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic Digestion: Principles and Practices for Biogas System. The World bank Washington, D.C., USA.
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No.1, Maret 2005 :68 – 80.
Marchaim, U. 1992. Biogas Processes for Sustainable Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome, Italy.
Saleh, E. 1997. Pengembangan Ternak Ruminansia Besar di Daerah Transmigrasi. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Simatupang, P. 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sudradjat, R. 2004. The Potential of Biomass Energy resources in Indonesia for the Possible Development of Clean Technology Process (CTP). International Workshop on Biomass & Clean Fossil Fuel Power Plant Technology: Sustainable Energy Development  & CDM. Jakarta, January 13-14, 2004.
Syamsuddin, T.R. dan Iskandar,H.H. 2005. Bahan Bakar Alternatif Asal Ternak. Sinar Tani, Edisi 21-27 Desember 2005. No. 3129 Tahun XXXVI.
Widodo, T.W, Asari, A., Nurhasanah,A. and Rahmarestia,E. 2006. Biogas Technology Development for Small Scale Cattle Farm Level in Indonesia. International Seminar on Development in Biofuel Production and Biomass Technology. Jakarta, February 21-22, 2006 (Non-Presentation Paper).